MAKALAH TAFSIR TARBAWI
“Peserta Didik Dalam Islam”
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah tafsir tarbawi
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
METHA AFRI CAHYUNI
SALEHA SAID
DOSEN PENGAMPU :
SYAMSUL FALAH,MA
JURUSAN TARBIYAH PRODI BIOLOGI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2016
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehin
gga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang“Peserta Didik
Dalam Al-Qur‟an” .
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatk
an bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan k
ritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah kami ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah dapat memberikan
manfaat maupun bagi pembaca.
Bunga Tanjung,08 Oktober 2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................ 1
1. Apa yang di maksud peserta didik ?........................................................ 1
2. Apa kewajiban peserta didik ?.................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Pengertian Peserta Didik ................................................................................ 2
B. Kewajiban Peserta Didik ................................................................................ 3
1. Menuntut ilmu dan mengamalkannya ...................................................... 3
2. Sabar dalam belajar .................................................................................. 6
3. Menghormati pendidik (guru) .................................................................. 6
4. Menegur pendidik apabila terbukti salah. ................................................ 6
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Studi Islam, secara Epistemologi dikenal tiga bentuk penelaahan.
Pertama, telaah atas sumber pokok ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis.
Kedua, telaah atas hasil pemikiran dan penelitian para ulama dan pakar. Ketiga,
telaah atas bentuk perilaku umat islam yang merupakan refleksi keyakinan
terhadap ajaran yang disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Al-Qur’an memiliki pandangan yang spesifik tentang pendidikan. Beberapa
idiom banyak dijumpai dalam Al-Qur’an seperti kata rabb yang menjadi akar dari
kata tarbiyah. Tarbiyyah merupakan konsep pendidikan yang banyak digunakan
hingga sekarang. Demikian juga dengan idiom qira’a dan kataba juga mengandun
g implikasi pendidikan yang mendalam.
Berpijak dari kenyataan tersebut buku ini mencoba mengelaborasikan ayat-ayat
yang berkenaan dengan pendidikan, meliputi : dasar-dasar pendidikan, istilahistilah pendidikan, tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, proses belajar
mengajar, pendidik, peserta didik, media dan sumber pembelajaran, dan evaluasi
tinjauandari perspektif tafsir.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud peserta didik ?
2. Apa kewajiban peserta didik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peserta
Didik
Peserta didik dalam pendidikan islam adalah individu yang sedang tumbuh
dan berkembang, baik secara fisik, fsikologis, sosial, dan regilius dalam
mengarungi kehidupan di dunia dan diakhirat kelak. Abuddin Nata menjelaskan
bahwa peserta didik cukupan lebih luas dari pada anak didik. Peserta didik tidak
hanya belibatkan anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Sementara istilah anak
didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan
peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya sek
olah (pendidikan formal), melainkan juga mencakup pendidikan nonformal yang
ada di masyarakat, seperti majlis taklim, paguyuban, dan sebagainya. Dengan
demikian istilah peserta didik ini bukan hanya orang-orang yang belum dewasa
dari segi usia, melainkan juga orang-orang yang dari segi usia sudah dewasa,
namun dari segi mental, wawasan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya
masih memerlukan bimbingan.1
Dalam ajaran islam, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk istilah
peserta didik. Istilah tersebut antara lain tilmidz (jamaknya talamidz) , murid,
thalib (jamaknya al- thullab) ,dan muta‟allim.
Secara Etimologi kosa kata tilmidz (jamaknya talamidz) yang berarti murid
laki-laki, atau tilmidzah (jamaknya talamidzah) yang berarti murid perempuan.
Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menunjukan pesert didik yang berada pada
tingkat madrasah awaliyah atau sekolah permulaan pad ataman kanak-kanak (TK)
atau taman pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan sejenisnya.
Selanjutnya kosakata murid adalah isim fa‟il (nama yang melakukan
pekerjaan) yang berasal dari kata arada, yuridu, muridam, yang berarti orang
yang menghendaki sesuatu. Istilah murid lebih lanjut digunakan bagi pengikut
ajaran tasawuf, dan berarti orang yang mencari hakikat kebenaran spiritual di
bawah bimbingan dan arahan dari dari seorang pembimbing spiritual (mursyid).
Istilah murid lebih lanjut digunakan pada seseorang yang sedang menuntut ilmu
pada tingkat sekolah dasar, mulai dari ibtidaiyah sampai aliyah.
Sedangkan istilah thalib berasal dari bahasa thalaba, tathlubu, thalabatan,
thaliban yang secara harfi’ah berarti orang yang mencari sesuatu. Adapun
menurut istilah tasawuf, thalib adalah orang yang sedang menempuh jalan
spiritual dengan cara menpa dirinya dengan keras untuk mencapai derajat sufi.
Istilah thalib selanjutnya digunakan untuk peserta didik yang menemph
pendidikan di perguruan tinggi.
Adapu istilah muta‟alim berasal dari kata ta‟allama, yata‟allamu,
muta‟alliman yang berarti orang yang sedang menuntut ilmu. Muta’alim antara
lain digunakan oleh Burhanddin Al- Jarnuzi dalam kitabnya Ta‟alim AlMuta‟alim yaitu sebuah kitab yang berisi tentang etika dan petunjuk sukses bagi
pagi para pencari ilmu.2
B. Kewajiban Peserta Didik
1. Menuntut ilmu dan mengamalkannya
Seorang peserta didik harus memiliki kemauan untuk selalu menuntut
/menambah ilmu pengetahuan, sekaligus mengamalkan ilmu yang telah
dipelajarinya tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah dalam QS.AtTaubat: 122.3
Yang artinya: tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS.AtTaubat: 122)
Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas dengan
menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang yang selam ini
dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua kemedan peran
sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika
memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum, maka mengapa
tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar, diantara merka
beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam
pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh mamfaat
untuk diri mereka dan untuk orang lain.
Menurut Quraish Shihab, kata liyatafaqquhu terambil dari kata fiqh, yakni
pengetahuan yang mendalam menysngkut hal-hal ysng sulit dan tersembunyi.
Bahkan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ta‟ pada kata tersebut
mengandung maknakesungguhan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar
dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslim untuk
menjadi pakar-pakar pengetahuan.4
Kata, fiqh disini bukan terbatas pada apa yang diistilahkan dalam disiplin
ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum
agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui penalaran
terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu mencakup segala macam
pengetahuan mendalam. Pengaitan tafaqquh (pendalam pengetahuan itu)
dengan agama, agaknya untuk menggarisbawahi tujuan pendamaian itu, bukan
dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama. Pebagian disiplin ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya al-qur’an bahkan
tidak diperkenalkan oleh Allah SWT. Al-Qur’an tidak membedakan ilmu. Ia
tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum karena semua ilmu
bersumber dari Allah SWT. Yang memperkenalkan adanya ilmu yang
diperoleh dengan usaha manusia kasby (acquired knowledge) dan ilmu yang
merupakan anugerah Allah tampa usaha manusia (ladunny/perennial).
Ayat terkait berikutnya, firman Allah SWT:
Yang artinya: “supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di
antara ilmu-ilmu yang telah di ajarkan kepadamu?”. (QS. Al-Kahfi: 66)
Dalam pertemuan kedua tokoh itu, musa berkata kepadanya, yakni hamba
Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “bolehkah aku mengikutimu secara
bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa,
yakni ilmu-ilmu, yang telah diajarkan allah kepadamu untuk menjadi petujuk
bagiku menuju kebenaran?”
Menurut Quraish Shihab, kata attabi „uka asalnya adalah atba „uki dari
kata athba „uka yakni mengikuti. Penambahan huruf ta‟ pada kata attabi „uka
mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti itu. Memang,
demikianlah seharusnya seorang peserta didik, harus bertekat untuk
bersunguh-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa
yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa AS. Ini sungguh sangat halus, beliau tidak menuntut
untuk diajarkan tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan
“bolehkah aku mengikutimu?”selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang
diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai
pengikut dan pelajar. Beliau juga menggaris bawahi kegunaan pengajaran
untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk menjadi ptunjuk baginya.5
Selanjutnya firman Allah SWT:
Yang artinya: maka maha tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur‟an sebelum disempurnaka mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “ya Tuhanku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS.Thaha: 114)
Menurut Quraish Shihab, kehebatan tuntunan Al-Qur’an printah Allah
untuk selalu mengikutinya boleh jadi menjadikan beliau tergesa-gesa dan
memperolehnya sebanyak mungkin sehingga Allah melanjutkan dengan
menyatakan: dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum
disempurnakan untukmu pewahyunya oleh Malaikat Jibril yang membawanya
turun. Namun demikian, engkau sangat wajar jika selalu mengharap lagi
berusaha untuk memperoleh pengetahuan. Karena itu, allah memperintahkan
beliau berusaha dan berdo’a dengan firmannya: dan katakanalah: “Tuhan pemelihara dan pembimbingku, tambahkanlah kepadaku ilmu, baik melalui wahyu-wahyumu yang disampaikan oleh Malaikat maupun melalui apa yang terbentang dari ciptaan-Mu di alam raya”.
2. Sabar dalam belajar
3. Menghormati pendidik (guru)
4. Menegur pendidik apabila terbukti salah.6
Ketiga masalah ini selanjutnya dapat ditelusuri lewat ayat-ayat berikut:
(QS.Al-Kahf: 69-78)
Yang artinya: 69. Musa berkata: “insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. 70. Dia berkata: “jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menanyakannya kepadamu”. 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tak kala keduanya menaiki perahu lalu khidhr melobanginya. Musa berkata: mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?”. Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. 72. Dia (khidhr) berkata: bukankah aku telah berkata: “sesungguhnya sekalikali tidak akan sabar bersama dengan aku”. 73. Musa berkata: “janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. 74. Maka berjlanlah keduanya: hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka khidhr membunuhnya. Musa berkata: “mengapa kamu membunuh jiwa yng bersih, bukan karna dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar”. 75. Khidhr berkata: “bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan mendapatkan kesabaran bersamaku?”. 76. Musa berkata: “jika aku berkata kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku”. 77. Maka keduanya berjalan, hingga tatkala kedunya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu,
tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hamper roboh, maka khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “jikalau kamu mau, niscaya kamu mengabil upah untuk itu”. 78. Khidhr berkata: “inikah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar kepadanya”.7
Dari uraian kisah perjalanan ilmiah antara Nabi Musa dan Khidhr yang
bermaktab pada ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dapat ditarik beberapa muatan
kesan pendidikan, yaitu pertama, seorang peserta didik dalam mengikuti
pembelajaran harus dapat sabar. Hal ini seperti terdapat pada ungkapan nabi musa, sebagai peserta didik, yaitu “insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorangyang sabar” (ayat 69) yang insya Allah mampu menghad
api ujian dan cobaan; kedua, setiap peserta didik dalam belajar meski selalu
menaruh rasa hormat terhadap orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan
kepadanya. Hal ini tergambar dari ungkapan Nabi Musa AS ketika beliau
mengikuti perjalanan ilmiah bersama Khidhr, aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun/perintah (ayat 69) yang engkau perintahkan ataupun
urusan apapun; dan ketiga, seorang peserta didik dapat saja dapat saja
menegur seorang pendidiknya bila pendidik tersebut melakukan kesalahan,
tentu hal ini dilakukan dengan tetap menjaga sikap sopan santun terhdap
pendidik. Dalam ungkapan berikut dapat dilihat betapa Nabi Musa AS sebagai
peserta didik, menugur Khadir yang dianggapnya melakukan kesalahan
dengan tetap hormat kepadanya, seperti ungkapan Nabi Musa AS berikut:
mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? (ayat 71). Lalu Nabi Musa AS. sadar akan kesalahannya, maka dia berkata,”janganlah engkau menghukum aku, yakni maafkanlah aku
atas keterlanjuran yang disebabkan oleh kelupaanku terhadap janji yang telah
kuberikan kepadamu, dan janganlah engkau bebani aku dalam urusanku, yakni
dlam keinginan dan tekatku mengikutimu dengan kesulitan yang tidak dapat
aku pikul.8
Pertanyaan Nabi Musa selanjutnya adalah: mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan kaerena dia membunuh orang lain? (ayat 71). Pertanyan
ini muncul, menurut Sayyid Qutub seperti yang dikutip Quraish Shihab, atas
kesadaran Nabi Musa bahwa besarnya peristiwa yang dilakukan Khidir itu,
yakni dengan serta merta membunuh dan yang dibunuhnya adalah anak yang
tidak berdosa. Karna itu kali ini Nabi Musa tidak sekedar menilai melakukan Imran/kesalahan besar sebagaiman terjadi pembocoran perahu yang dinilai
dapat menenggelamkan dan mematikan penumpang, tetapi kali ini beliau
menamainya nukran/kemungkaran yang besar. Ini karena disana baru dikhawatirkan hilangnya nyawa, sedangkan disini pembunuhan benar-benar
terjadi. Kemuduan ungkapan Nabi Musa AS berikutnya adalah kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang akan roboh,
maka Khidir menegakkan dinding itu, Musa berkata: “jikalau kamu mau, niscaya kamu mengabil upah untuk itu” (ayat 77), yakni atas perbaikan
dinding sehingga dengan upah itu kita dapat membeli makanan.
Sebenarnya, kali ini Nabi Musa tidak secara tegas bertanya, tetapi
memberi saran. Kendati demikian, karena dalam saran tersebut terdapat
semacam unsur pertanyaan apakah diterima atau tidak, inipun telah dinilai
sebagai pelanggaran oleh Khidir. Saran Nabi Musa itu lahir setelah beliau
melihat dua kenyataan yang bertolak belakang. Penduduk negeri yang enggan
menjamu, kendati demikian khidir memperbaiki salah satu diding rumah di
negeri itu.9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Peserta didik dalam pendidikan islam adalah individu yang sedang tumbuh
dan berkembang, baik secara fisik, fsikologis, sosial, dan regilius dalam
mengarungi kehidupan di dunia dan diakhirat kelak. Abuddin nata menjelaskan
bahwa peserta didik cukupan lebih luas dari pada anak didik. Peserta didik tidak
hanya belibatkan anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Sementara istilah ank didik
hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta
didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya sekolah (pe
ndidikan formal),melainkan juga mencakup pendidikan nonformal yang ada di
masyarakat, seperti majlis taklim, paguyuban, dan sebagainya.
Dalam ajaran islam, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk istilah
peserta didik. Istilah tersebut antara lain tilmidz (jamaknya talamidz) , murid,
thalib (jamaknya al- thullab) ,dan muta‟allim.
Kewajiban peserta didik, pertama: menuntut ilmu dan mengamalkannya,
kedua: sabar dalam belajar, ketiga: menghormati pendidik/guru, dan yg keempat:
menegur pendidik apabila melakukan kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Gayo Muhammad Yusuf, Tafsir Tarbawi, ( Sungai Penuh: Stain Kerinci Press,
2012 ).